Jimat merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kita, karena tersebar beragam jenisnya. Bahkan, jimat tersebut sudah menjadi “komoditi dagang” yang laris diperjualbelikan seperti halnya mantra-mantra, rajah-rajah, batu akik pelancar rezki, sabuk bertuah, liontin ajaib, kain dan semacamnya. Kini benda-benda itu bukan lagi sekedar benda mati, tapi telah “naik kelas”, karena diyakini bisa memberikan perlindungan atau kekebalan, mendatangkan rezeki, ataukah pemikat lawan jenis. Namun yang jadi pertanyaan, bagaimana hal ini jika ditimbang oleh syari’at, adakah ia dalam islam?
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menyempurnakan agama ini sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusenpurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Kucukupkan nikmatKu kepada kalian dan telah Kurhidhoi Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)
Al-Imam Abul Fida` Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Ini adalah karunia Allah -Ta’ala- yang paling besar terhadap umat ini, di saat Allah telah menyempurnakan agama bagi mereka, maka mereka pun tidak butuh lagi kepada agama yang lain dan tidak kepada nabi yang lain selain Nabi mereka -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Oleh karena itu, Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi. Dia telah mengutus beliau kepada bangsa manusia dan jin. Jadi, tidak ada perkara yang halal, selain yang beliau halalkan dan tidak ada perkara yang haram selain yang dia haramkan, serta tidak ada ajaran agama selain yang dia syariatkan. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/14) cet. Darul Ma'rifah]
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقََرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tiada suatu perkara yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. Ath-Thabranydalam Al-Kabir (1647), di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1803), dan Syaikh Ali bin Hasan Al-Atsariy dalam ‘Ilmu Ushul Al-Bida’ (hal.19)]
Jadi, segala perkara kebaikan yang bisa mengantarkan seseorang meraih surga telah dijelaskan dan dituntunkan dalam syari’at. Demikian pula sebaliknya, segala perkara yang jelek bila menjerumuskan seseorang ke dalam neraka, telah dijelaskan dalam syari’at.
Seandainya jimat ini adalah perkara disyari’atkan, tentunya kita akan mendapatkan tuntunannya dalam syari’at dan pastilah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-, dan imam-imam setelahnya adalah orang yang pertama kali mengejakannya. Namun, jika kita tidak dapatkan hal tersebut dikerjakan oleh mereka, maka hal tersebut bukanlah perkara yang baik, bahkan termasuk kepada hal-hal yang diada-adakan di dalam syari’at yang telah sempurna ini, yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan Rasul-Nya berlepas diri dari hal-hal tersebut.
Masalah jimat telah dijelaskan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits-hadits. Di antaranya, hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mangisyaratkan tentang jimat dan hukumnya,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik.” [HR. Abu Dawud (3883). Hadits ini di-shohih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Shohih Al-Jami' (1632), dan di-hasan-kan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'iy dalam Al-Jami' Ash-Shohih (3/499)]
Syaikh Muhammad Al-Wushobiy Al-Yamaniy berkata dalam mengomentari hadits ini, “Bisa dipetik hukum dari hadits ini tentang haramnya menggantungkan jimat, baik pada manusia, hewan, kendaraan, rumah, toko, pohon, atau selainnya. Apakah sesuatu yang dgantungkan itu berupa tulang, tanduk, sandal, rambut, benang-benang, batu-batu, besi, kuningan, atau yang lainnya, karena perkara tersebut, di dalamnya ada bentuk penyandaran sesuatu kepada selain Allah, (yang ia itu adalah kesyirikan )”. [Lihat Al-Qaulul Mufid Fiadilati At-Tauhid (145 jilid 7)]
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- juga pernah bersabda,
مَنْ عَلَّقَ تمَِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Siapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/56), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/291). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohih (629), dan di-hasan-kan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami' Ash-Shohih (6/294)]
Abdur Ra’uf Al-Munawiy -rahimahullah- berkata, “Siapa yang menggantungkan jimat, diantara jimat-jimat jahiliah, sedang ia menyangka hal tersebut bisa mendatangkan suatu mudharat atau manfaat, maka sesungguhnya itu adalah perbuatan yang haram. Sedangkan sesuatu yang haram, di dalamnya tidaklah terdapat obat.” [lihat Faidh Al-Qadir (6/107), cet. Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra]
Syaikh Abdirrahman bin Hasan Alusy Syaikh -rahimahullah- berkata, “Menggantungkan jimat adalah kesyirikan, karena maksud orang yang menggantungkan jimat tersebut untuk menolak suatu kemudharatan (bala’), atau meraih suatu manfaat dengannya dari selain Allah. Hal itu juga meniadakan kesempurnaan keikhlasan kepada Allah, yang merupakan makna dari L a Il aha Illall ah, karena sesungguhnya orang yang ikhlas tidaklah meminta tercapainya suatu manfaat atau hilangnya suatu mudharat kecuali hanya kepada Allah, sebagaimana firman-Nya,
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan.” (QS. An-Nisa`: 125) [ Lihat Quratul Uyun (hal. 54)]
Ketika ada yang mengingkari dari kalangan para pemakai jimat, sebagian orang -terlebih lagi para pemakai jimat- menyangka jimat itu sebagai sebab dan sarana saja. Benarkah itu? Perlu diketahui bahwa meyakini sesuatu sebagai sebab dan sarana -padahal ia bukan sebab-, maka ini tergolong syirik kecil. Selain itu, meyakini sesuatu sebagai sebab dan sarana yang mendatangkan manfaat (kebahagian), atau mudharat, harus berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.[lihat Al-Qaulul Mufid (1/208)]
Jadi, mengerjakan sebab yang telah disyari’atkan adalah termasuk dari bagian syari’at. Namun para ulama menyebutkan sesuatu itu bisa menjadi sebab atau bukan dengan dua pekara:
Pertama, melalui penetapan syari’at, yakni syari’at menetapkan bahwa sesuatu itu bisa menjadi sebab, misalnya madu. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman tentangnya,
فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ
“Di dalamnya (madu) terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69)
Jika kita menggunakan madu sebagai sebab kesembuhan, maka sah dianggap sebagai sebab, karena syari’at telah menetapkannya.
Kedua, melalui pembuktiaan secara alami bahwa ia memiliki manfaat dengan syarat pengaruhnya jelas dan terjadi secara langsung, seperti berobat dengan Biji Keling yang bisa menghancurkan batu ginjal, atau minum Konidin yang bisa menghilangkan sakit kepala. [Lihat Al-Qaul Al-Mufid Syarah Kitab Tauhid (1/165)]
Jadi, kedua perkara di atas tidak terpenuhi pada jimat. Tidak ada satu dalil pun yang men-syari’at-kan jimat, bahkan jimat dilarang. Jimat adalah sesuatu yang belum jelas pengaruhnya dan secara tidak langsung, sehingga batillah dan tidak sah ia dianggap sebagai sebab.
Dari uraian di atas, maka jelaslah tentang haramnya jimat di dalam syariat islam, baik jimat itu berupa benda-benda mati -sebagaimana yang telah disebutkan-, ataukah terbuat dari Al-Qur’an, dan doa yang dijadikan sebagai jimat. Ini pun dilarang disebabkan beberapa hal, diantaranya: [1] keumuman larangaan akan semua jenis jimat, dan tidak adanya dalil yang mengkhususkannya. [2] Jika kita menggunakan Al-Qur’an sebagai jimat, maka akan terjadi penghinaan terhadap Al-Qur’an dan nama-nama Allah, sebab akan dibawa ke tempat yang najis atau dipakai mencuri dan berkelahi. [3] Fungsi Al-Qur’an, dibaca, bukan digantungkan. [4] Para sahabat membenci penggunaan jimat [5] Penggunaan jimat yang terbuat dari Al-Qur’an akan mengantarkan kepada penggunaan jimat yang terbuat dari selain Al-Qur’an.
Lajnah Da’imah (Lembaga Fatwa KSA) berfatwa secara resmi, “Penggantungan jimat-jimat pada manusia atau selainnya, berupa ayat-ayat Al-Qur’an adalah haram menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama. Jika yang digantungkan tersebut dari selain Al-Qur’an, maka pengharamannya lebih keras lagi. Tingkatan-tingkatan hukum orang yang mengantungkan jimat berbeda beda sesuai dengan maksudnya. Terkadang bisa menjadi syirik besar (yaitu syirik yang bisa mengeluarkan pelakunya dari islam), jika dia meyakini bahwasanya jimat tersebut mempunyai pengaruh dari selain Allah. Terkadang juga bisa menjadi syirik kecil (syirik yang tidak mengeluarkan pelakunnya dari Islam), namun ia terhitung sebagai dosa besar. Terkadang menjadi bid’ah (suatu perkara baru yang diada-adakan) atau maksiat yang di bawah dari kesirikan. Jadi bagaimana pun keadaannya, tidak boleh melakukannya atau menggantungkannya [ Lihat Fatawa Al-Lajnah (1/204/no. 2775), dan Al-Qaulul Mufid fi Adillah At-Tauhid (hal 148)]
Ringkasnya, segala bentuk jimat baik dari Al-Qur’an, atau pun bukan dari Al-Qur’an adalah suatu hal yang diharamkan, karena keumuman larangan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Jadi, hendaknya setiap muslim meninggalkan perkara-perkara ini, mewaspadainya dan ia hanya menggantungkan segala urusannya hanya kepada Allah semata; Dia meminta suatu manfaat dan berlindung dari mudharat hanya kepada-Nya, sebab inilah aqidah kaum muslimin yang diyakini oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan para sahabatnya -Radhiyallahu ‘anhum yang benar. Sedang tidak ada setelah kebenaran itu, melainkan kebatilan, Wallahu A’lam.
Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 08 Tahun I. Penerbit: Pustaka Ibnu Abbas. Alamat: Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP: 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi: Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout: Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)